Having a Baby

Berita dari seorang teman yang baru saja having a newborn baby membawa ingatan saya pada sebuah perdebatan sengit di suatu malam di bawah langit Jogja sekitar 4 tahun yang lalu. Dari obrolan ringan dalam perjalanan menuju tempat makan di sekitar alun2 Jogja, tiba2 berubah menjadi sebuah obrolan serius tentang pentingnya punya keturunan.

Well, siapa sih yang gak mau punya keturunan? Setiap orang saya yakin mau dan ingin. Bahkan ada banyak orang yang berusaha mati2an untuk punya keturunan dari darah dagingnya sendiri. Tapi itu kan kehendak manusia. Apa jadinya kalo itu bukan kehendak Tuhan?

Ketidakmampuan memiliki keturunan seringkali dibebankan kepada pihak wanita. Coba lihat kalo ada pasangan yang belum punya atau udah lama menikah tapi gak juga dapet keturunan. Pasti banyak masyarakat yang akan berkomentar "Wah, jangan2 istrinya mandul tuh". See? Jarang banget ada kata2 "Itu pasti karena cowoknya gak bisa ereksi tuh" atau "Wah, cowoknya mandul n ejakulasi dini". Saya yakin gak pernah ada kata2 seperti itu, kecuali kalo saya yang ngomong.

Kita sendiri sebagai wanita, siapa sih yang ingin dilahirkan dengan ketidaksempurnaan? Apa kita pengen dilahirkan dengan kelainan kandungan, kelainan hormon, atau kelainan alat reproduksi (lah.. banci donk ?). Tapi kalo kita diciptakan Tuhan dengan keadaan seperti itu, lalu apakah harkat dan martabat kita sebagai wanita jadi berkurang. (Ceile.. bahasaku cah! Ngeriii!) Apakah itu jadi alasan kita untuk minder? Dan, apakah itu suatu alasan bagi kita untuk tidak bisa mendapatkan cinta dalam hidup atau dicampakkan oleh pasangan kita? (Tsaaahhh, keren bo bahasa gw).

Kalo saya pribadi sih, jawabannya pasti tidak. Dengan menerima pasangan kita apa adanya, berarti kita sudah belajar untuk menghargai dan menyayangi ciptaan Tuhan. Belajar menerima apa yang sudah digariskan oleh Tuhan. Belajar pasrah dan legowo. Tapi di dalamnya ada sebuah iman, pengharapan, dan kepercayaan bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk umatNya. Menerima pasangan apa adanya juga pembuktian kita terhadap janji pernikahan. Menurut kepercayaan yang saya anut, janji pernikahan diucapkan di depan altar, di depan Tuhan. Artinya bahwa janji pernikahan yang kita sudah kita buat, tidak hanya kita pertanggungjawabkan kepada pasangan kita, tapi juga kepada Tuhan.

Itulah yang saya perdebatkan mati2an dengan teman saya itu. Ketika itu dia belum beristri dan belum punya pacar. Dia berpendapat kalo seandainya nanti istrinya tidak bisa melahirkan anak untuk dia, maka dia memilih bercerai dan menikah lagi demi keturunan. Whadahel? Egois sekali ya laki2. Ck ck ck. Lalu di mana ya perginya cinta dan janji setia sehidup semati. For better for worse. Kayanya udah pergi ke laut bareng cewek2 matre.

Nah, terus saya ingin tanya balik. Kalo seandainya, dia yang tidak bisa memberikan keturunan, katakan saja dia gak bisa ereksi atau spermanya lemah, lalu dia diceraikan begitu saja sama istrinya, gimana tuh perasaannya ? Mikir gak ya dia, kalo seandainya dia yang berada di posisi itu.

Byuhhh.. maafkan saya kalo terlalu emosi. Cuman saya merasa gak adil aja. Saya pribadi merasa bahwa sebuah pernikahan itu jauh daripada sekedar dapet keturunan. Ada sebuah komitmen, kesetiaan, kepercayaan, dan laen sebagainya. Lagi-lagi saya harus bilang, for better for worse. Kalimat yang kelihatannya simpel tapi berat banget untuk ngejalaninya. Apalagi kalo sampe selingkuh dengan alasan pasangan gak bisa ngasih keturunan. Boong banget tuh! Selingkuh aja pake alesan macem2. Selingkuh ya selingkuh aja gituh.

Untung aja temen saya itu punya anak. Bukannya saya jahat, cuman saya sempat berpikir, gimana seandainya apa yang kita omongin di suatu malam itu bener2 terjadi ke dia. Ah, maafkan otak saya yang mulai ngaco ini. Tapi pertanyaan itu terus berputar2 di kepala saya.