Tadi anak2 di kantor pada ribut ngomongin lowongan Pertamina. Yah, biasa deh anak2, rumput tetangga emang selalu keliatan lebih hijau. Benernya males banget sih saya ikutan ngomongin begituan. Bukannya udah ngerasa puas atau udah stuck banget ama nih company yeee.. cuman ngomongin tentang Pertamina cuman membuka luka lama.
If only i could turn back time, saya benernya bingung. Kira2 saya mau ngapain ya ? Apa saya mau melarang bibi untuk ikutan tes Pertamina. Eh, tapi tunggu dulu, waktu itu bukannya saya juga yang maksa2 bibi supaya ikutan tes? Atau saya akan tetap meyakinkan bibi supaya tanda tangan kontrak jahanam itu yah ? Bingung saya. Saya sendiri gak tau mana yang lebih saya inginkan. Melihat bibi berkarir di Pertamina atau memang tidak berurusan dengan Pertamina sama sekali.
Selain membuka luka tentang kebimbangan masa silam, Pertamina juga mengingatkan saya akan kebencian saya pada seseorang. Ketika saya dan bibi sedang di titik puncak kebimbangan untuk memutuskan apakah bibi akan mengambil Pertamina atau gak, saya sempet chatting dengan salah seorang temen bibi yang waktu itu kerja di Pertamina (well, okey,sekarang dia emang udah keluar sih dari Pertamina). Waktu itu saya tanya ama dia. Saya minta dia ngasih kita alasan untuk nerima Pertamina karena dia begitu insist supaya Bibi nerima Pertamina. Dia kasih kita jawaban semacam mengabdi kepada negara dan seribu satu alasan lain yang jelas2 gak masuk di akal. What the fuck ? Ini udah jaman reformasi dan lu masih ngomong tentang alasan2 gak jelas yang mustinya masuk di mata pelajaran PPKn ? Oh, holy cow! Bener2 teman yang menjerumuskan. Sorry ya buat yang ngerasa, tapi gw emang bener2 muak ama lu!
Belum lagi, ketika temen2 saya sibuk mengata2i bibi tentang keputusannya nolak Pertamina. Mulai dari kata2 "sayang.. menyesal.. rugi banget..", sampai kata2 sarkastis macem "bodoh.. goblok.. gak mikir" dan kata2 lainnya yang sanggup membuat saya melayangkan tangan untuk menggampar (tsahhhh!!). Saat itu semua orang seakan2 berhak atas hidupnya si Bibi. Siapa elu ? Sejak kapan lu berhak ngurusin hidup gw n hidup si Bibi? Pergi aja gih berjamaah ke neraka dunia. Ahakahakahaka...
Tapi sebenarnya, selain semua itu, the worst of all, Pertamina mengambil semua kebahagiaan yang kita punya. Mengambil semua kenyamanan yang kita miliki. Karena peristiwa itu juga, kita jadi tau gimana rasanya berada di bawah dan ditentang semua orang. Merasakan bagaimana direndahkan oleh orang yang kita anggap teman. Merasakan bagaimana kita harus membela sesuatu yang kita sebut dengan prinsip. Meskipun sebenanarya kita juga tidak tau apakah prinsip kita itu benar atau salah.
Tapi segala sesuatu pasti ada hikmahnya. Karena peristiwa ini juga, kita jadi tau mana yang bener2 teman, mana yang bener2 sahabat dalam suka dan duka. Di samping semua orang yang merendahkan dan menghina kita, banyak juga sahabat yang menguatkan dan memberi dukungan. Karena peristiwa ini juga, akhirnya ini menjadi suatu titik balik di mana kita mulai bangun dari kenyamanan semu kita di Jogja. Saya tau, sudah terlalu banyak memori indah yang terjadi di Jojga yang mungkin tidak akan tergantikan. Tapi saya yakin, ke depannya kita akan membuat lebih banyak memori yang jauh lebih indah dan berkesan. Lebih dari itu, it made our relationship getting stronger. Kita jadi semakin yakin satu sama lain dan percaya kalo kita bisa menghadapi masalah bareng2.
Di balik semua itu, saya sering bertanya2, kira2 kalo bibi waktu itu tetep ke Pertamina, apa ya yang bakal terjadi ? Kira2 bibi di mana ya ? Apa di jakarta atau di daerah antah berantah di mana kita harus siap setiap saat buat dimakan buaya. Honestly, saya emang pernah nyesel bibi nolak pertamina. Tapi kalo melihat sekarang, saya gak tau apakah saya masih harus merasa menyesal ? Melihat bibi bisa melakukan apa yang bener-bener dia inginkan dalam hidup apakah tidak cukup untuk menghibur ?
Sampai sekarang, saya gak tau, apakah keputusan bibi untuk nolak Pertamina adalah keputusan terbaik atau keputusan terbodoh dalam hidup. Saya juga gak berani dan gak mau bilang bahwa apa yang bibi capai n lakuin sekarang lebih baik ketimbang berkarir di Pertamina. Saya tidak berani, meskipun jauh di dalam hati kecil saya sering tergelitik untuk melakukan itu. Buat kita, Tuhan sungguh sangat bermurah hat. Masih memberikan rezeki, banyak sekali rezeki, yang tidak terduga sekalipun kita sering menyia2kannya. Yang bisa kita lakukan sekarang, hanya melangkah ke depan. Mencoba berpura2 seolah2 tidak pernah ada kata Pertamina dalam kamus hidup kita. Doing as best as we can dan mensyukuri apa yang sudah kita capai. Betapapun sulit dan berat hal itu.
If only i could turn back time, saya benernya bingung. Kira2 saya mau ngapain ya ? Apa saya mau melarang bibi untuk ikutan tes Pertamina. Eh, tapi tunggu dulu, waktu itu bukannya saya juga yang maksa2 bibi supaya ikutan tes? Atau saya akan tetap meyakinkan bibi supaya tanda tangan kontrak jahanam itu yah ? Bingung saya. Saya sendiri gak tau mana yang lebih saya inginkan. Melihat bibi berkarir di Pertamina atau memang tidak berurusan dengan Pertamina sama sekali.
Selain membuka luka tentang kebimbangan masa silam, Pertamina juga mengingatkan saya akan kebencian saya pada seseorang. Ketika saya dan bibi sedang di titik puncak kebimbangan untuk memutuskan apakah bibi akan mengambil Pertamina atau gak, saya sempet chatting dengan salah seorang temen bibi yang waktu itu kerja di Pertamina (well, okey,sekarang dia emang udah keluar sih dari Pertamina). Waktu itu saya tanya ama dia. Saya minta dia ngasih kita alasan untuk nerima Pertamina karena dia begitu insist supaya Bibi nerima Pertamina. Dia kasih kita jawaban semacam mengabdi kepada negara dan seribu satu alasan lain yang jelas2 gak masuk di akal. What the fuck ? Ini udah jaman reformasi dan lu masih ngomong tentang alasan2 gak jelas yang mustinya masuk di mata pelajaran PPKn ? Oh, holy cow! Bener2 teman yang menjerumuskan. Sorry ya buat yang ngerasa, tapi gw emang bener2 muak ama lu!
Belum lagi, ketika temen2 saya sibuk mengata2i bibi tentang keputusannya nolak Pertamina. Mulai dari kata2 "sayang.. menyesal.. rugi banget..", sampai kata2 sarkastis macem "bodoh.. goblok.. gak mikir" dan kata2 lainnya yang sanggup membuat saya melayangkan tangan untuk menggampar (tsahhhh!!). Saat itu semua orang seakan2 berhak atas hidupnya si Bibi. Siapa elu ? Sejak kapan lu berhak ngurusin hidup gw n hidup si Bibi? Pergi aja gih berjamaah ke neraka dunia. Ahakahakahaka...
Tapi sebenarnya, selain semua itu, the worst of all, Pertamina mengambil semua kebahagiaan yang kita punya. Mengambil semua kenyamanan yang kita miliki. Karena peristiwa itu juga, kita jadi tau gimana rasanya berada di bawah dan ditentang semua orang. Merasakan bagaimana direndahkan oleh orang yang kita anggap teman. Merasakan bagaimana kita harus membela sesuatu yang kita sebut dengan prinsip. Meskipun sebenanarya kita juga tidak tau apakah prinsip kita itu benar atau salah.
Tapi segala sesuatu pasti ada hikmahnya. Karena peristiwa ini juga, kita jadi tau mana yang bener2 teman, mana yang bener2 sahabat dalam suka dan duka. Di samping semua orang yang merendahkan dan menghina kita, banyak juga sahabat yang menguatkan dan memberi dukungan. Karena peristiwa ini juga, akhirnya ini menjadi suatu titik balik di mana kita mulai bangun dari kenyamanan semu kita di Jogja. Saya tau, sudah terlalu banyak memori indah yang terjadi di Jojga yang mungkin tidak akan tergantikan. Tapi saya yakin, ke depannya kita akan membuat lebih banyak memori yang jauh lebih indah dan berkesan. Lebih dari itu, it made our relationship getting stronger. Kita jadi semakin yakin satu sama lain dan percaya kalo kita bisa menghadapi masalah bareng2.
Di balik semua itu, saya sering bertanya2, kira2 kalo bibi waktu itu tetep ke Pertamina, apa ya yang bakal terjadi ? Kira2 bibi di mana ya ? Apa di jakarta atau di daerah antah berantah di mana kita harus siap setiap saat buat dimakan buaya. Honestly, saya emang pernah nyesel bibi nolak pertamina. Tapi kalo melihat sekarang, saya gak tau apakah saya masih harus merasa menyesal ? Melihat bibi bisa melakukan apa yang bener-bener dia inginkan dalam hidup apakah tidak cukup untuk menghibur ?
Sampai sekarang, saya gak tau, apakah keputusan bibi untuk nolak Pertamina adalah keputusan terbaik atau keputusan terbodoh dalam hidup. Saya juga gak berani dan gak mau bilang bahwa apa yang bibi capai n lakuin sekarang lebih baik ketimbang berkarir di Pertamina. Saya tidak berani, meskipun jauh di dalam hati kecil saya sering tergelitik untuk melakukan itu. Buat kita, Tuhan sungguh sangat bermurah hat. Masih memberikan rezeki, banyak sekali rezeki, yang tidak terduga sekalipun kita sering menyia2kannya. Yang bisa kita lakukan sekarang, hanya melangkah ke depan. Mencoba berpura2 seolah2 tidak pernah ada kata Pertamina dalam kamus hidup kita. Doing as best as we can dan mensyukuri apa yang sudah kita capai. Betapapun sulit dan berat hal itu.
5 comments:
Hohoho. Kebahagiaanku di sini sedikit berkurang setelah liat materi kuliah dan tugas2 yang kayak gini. :'((
Hiks. Hehehe.
Menjadi orang kebanyakan itu nggak salah. Tapi juga ngga salah menjadi beda dari orang kebanaykan.
@r. topan berliana:
Santai mas.... Si ganteng juga pusing sama exams nih :D
Met berjuang ;))
iya mb ninta..gapapa...rejeki dah ada yg atur kok...aqu dulu juga sempat jadi PNS di jakarta..trs krn hrs ikut suami di jogja, aqu keluar dr PNS..dan aqu merasa bersyukur ga jd PNS disana..banyak kesenangan yg bisa aqu dapat setelahnya..amiinn....
belum tentu pertamina pasti pas kok nint!
eh eh, yg keluar dari pns, crita2 dong hehe *mrenges*
Post a Comment